Oleh Rizky Ramadhan (Batch 14, Divisi SOSBUD)
Dalam perkembangan filsafat modern muncul sebuah metode untuk membangun dasar berpikir yang disebut sebagai “Keraguan Cartesian”. Metode ini ditemukan oleh Descartes atau seorang yang sering dipanggil sebagai bapak filsafat modern. Ia mendapat julukan seperti itu sebab sejak Aristoteles tidak ada pemikiran-pemikiran baru dalam perkembangan dunia filsafat. Descartes ialah seorang filsuf, matematikawan, dan ilmuwan yang lahir di Prancis pada 31 Maret 1596, sejak kecil ia sudah menunjukkan potensi bakatnya, walaupun begitu dia juga terkenal sebagai anak yang ringkih atau mudah sakit. Dia belajar filsafat ataupun mencari kebenaran dengan hidup menjelajah dari satu negara ke negara lain, salah satu negara yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan filsafatnya yaitu Belanda. Dengan melakukan penjelajahan antar negara, ia membulatkan tekadnya untuk mencari kebenaran atau kebijaksanaan yang kelak akan ditemukannya sendiri dalam perjalanannya. Karya filsafat dan matematikanya memiliki makna yang sangat besar, contohnya yaitu geometri koordinat. Dia setuju dengan Plato, bahwasannya matematika ataupun angka lebih dapat memberikan kepastian daripada apa yang ditangkap oleh panca indra kita.
Rumus pertama dalam berfilsafat bagi Descartes ialah ragukan dan pertanyakan segalanya, karena baginya hal itulah yang menjadi sumber dari kebijaksanaan manusia. Dari rumus inilah terlahir suatu metode berpikir yang bernama “Keraguan Cartesian”. Keraguan Cartesian ini ringkasnya ialah cara berpikir dengan meragukan segala sesuatu yang bisa diragukan. Sejak kecil tentunya sudah bermacam-macam pandangan yang masuk kedalam pikiran kita dan terkadang kita merasakan terdapat kekeliruan dari beberapa pandangan tersebut. Oleh karena itu, cara terbaik untuk menyaring pandangan yang keliru atau salah tersebut adalah dengan melakukan pengujian. Terlebih dahulu kita harus menandai segala pandangan yang kita anggap benar sebagai belum pasti, kemudian ujilah satu per satu mana yang terbukti benar dan tidak dapat diragukan lagi. Hal penting yang sangat diperlukan dalam menguji kebenaran yang selama ini kita percayai tentunya ialah sebuah keberanian, seperti kata Sokrates; “Hidup yang tidak diuji ialah hidup yang tidak ada artinya”. Saat suatu kebenaran tidak diuji, sesungguhnya kita belum paham apa yang kita maksud sebagai kebenaran tersebut dan cenderung kita hanya ikut-ikutan saja. Ia menyatakan bila kita ingin menjadi pencari kebenaran sejati, maka setidaknya sekali dalam hidup kita harus meragukan segala sesuatu sampai batas kemampuan kita. Dalam mencari kebenaran, kita tidak boleh hanya sekedar ikut-ikutan, tapi kita sendirilah yang mencari kebenaran itu sendiri, karena kebenaran yang diyakini tiap orang terkadang terasa tidak cocok satu sama lain.
Dimulai dari sikap skeptis terhadap indra yang dimiliki manusia. Contohnya, bisakah saya meragukan bahwasannya saya sedang mengetik tulisan ini di kamar persis seperti yang sedang saya lakukan saat ini? Bila saya menanyakan ini kepada Descartes, kurang lebih dia akan menjawab; tentu saja, kadang-kadang kamu juga bermimpi akan hal itu, padahal nyatanya kamu sedang tidur sambil mendengkur dalam kamarmu dan terkadang saat bermimpi kamu juga tidak bisa membedakan kamu sedang di dunia nyata atau di dunia
mimpi. Selain itu manusia juga mempunyai halusinasi, jadi bisa saja kamu sedang mengalami hal yang serupa. Apa hal yang bisa membuktikan bahwa hidup kita itu nyata bukan sebuah mimpi? Bahkan tubuh kita yang sekarang kita miliki ini bila bisa saja hanyalah sebuah ilusi.
Saat kita sudah meragukan segalanya, masih ada satu hal tersisa yang pasti tidak bisa kita ragukan yaitu kita yang sedang meragukan hal itu. Bila hal ini juga dibantah, lantas siapa yang telah meragukan atau membantah argumen tersebut? Eksistensi yang tidak bisa ditolak yang dimaksud Descartes tersebut spesifiknya ialah pikiran. Dia berkata; “Ketika saya ingin menganggap sesuatu itu salah, pastilah ada diri saya yang berpikir, dan ungkapan aku berpikir maka aku ada (cogito ergo sum), benar adanya, dan semua perkiraan paling berlebihan dari orang-orang skeptis tidak dapat mengacaukannya, saya pikir maka saya dapat menerimanya tanpa keberatan sebagai prinsip pertama dari filsafat yang saya cari”.
Arah filsafat Descartes ini jelas condong mengarah ke idealisme, yang membuat pikiran menjadi lebih nyata daripada materi. Dari dasar berpikir tadi timbul suatu bangunan pemikiran seperti ini; jika saya berhenti berpikir maka bukti eksistensi saya juga akan menghilang. Saya adalah sesuatu yang berpikir, karena berpikir adalah esensi dari pikiran, pikiran selalu berpikir bahkan ketika sedang tidur, oleh karena itu seluruh esensi diri saya adalah berupa pikiran. Disini Descartes membagi bahwa jiwa itu berbeda dengan tubuh dan lebih mudah untuk dapat diketahui daripada tubuh, sehingga seolah-olah hal ini meniadakan eksistensi dari tubuh itu sendiri. Baginya tubuh manusia itu seperti mesin yang sempurna, tetapi walaupun begitu pikiranlah yang bisa bekerja secara mandiri sepenuhnya, bukan tubuh. Tubuh bisa menjadi tua dan lemah, sedangkan pikiran tidak mengalami perubahan seperti itu. Dari jalan berpikir seperti itu, ia mengambil kesimpulan bahwa pengetahuan yang kita dapat melalui panca indra itu ialah pengetahuan yang keliru sifatnya, pengetahuan yang sesungguhnya hanya bisa didapat dengan pikiran.
Descartes juga menjelaskan perbedaan kehidupan antara manusia dan hewan. Manusia memiliki materi dan kesadaran, sedangkan hewan hanya memiliki materi saja, sehingga hal ini menyebabkan hewan bekerja secara mekanis seperti mesin. Tubuh manusia jugalah mekanis tetapi tidak dengan jiwanya, sehingga jiwa atau pikiranlah yang mempengaruhi atau mengatur tubuh. Singkatnya manusia adalah kombinasi dari mental dan material atau rohani dan jasmani. Gagasan ini disebut dengan Dualisme, gagasan ini sangat
berpengaruh pada perkembangan dunia psikologi.
Secara keseluruhan aliran yang diperkenalkan Descartes ini bernama rasionalisme, dimana seluruh sumber ilmu pengetahuan hanya bersumber dari rasio atau pikiran. Menurutnya, pengetahuan yang bersumber dari luar atau biasa kita sebut empiris itu sifatnya subjektif, contohnya rasa atau sensasi yang tidak bisa diukur secara pasti. Oleh karena itu, menurutnya pikiran lebih bisa dipercaya, karena pikiranlah yang menerjemahkan apa yang kita tangkap melalui panca indra, jadi segala hal tergantung oleh pikiran. Semakin nyata sesuatu itu bagi pikiran, maka makin pasti pulalah bahwa sesuatu itu ada.
Daftar Pustaka:
Gaarder, Jostein. (1991). Dunia Shopie. (Astuti, R, Terjemahan). Bandung: Mizan.
Russel, Bertrand. (1946). Sejarah Filsafat Barat. (Jatmiko, S., Prihantoro, A., Muttaqien, I., Baihaqi, I., Shodiq, M., Terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sudirman, M, J., 2019, 20 Maret, Ngaji Filsafat 222: Rene Descartes – Skeptisisme.
[Video]. Youtube. https://youtu.be/qgyQ5O0X4W8